Ini es krim rasa
strawberry, jilatan pertama yang terlalu nikmat. Terlebih di mana tempat ini
adalah pasar malam di kota apik. Dibayangi dengan imaji horizontal tentang
bagaimana cara menebar pesona. Backsound gelak tawa anak-anak dengan ornamen
dangdut di sekitaran, benar-benar hidup dalam cerita fiksi, ahh.. tidak begitu,
bukankah cerita fiksi diadopsi dari imaji serupa, serupa binar-binar saya saat
ini. Strawberry itu bukan buah biasa, selain merahnya yang merona seperti gincu
ibu-ibu, strawberry punya rasa beda. Apa iya begitu? Hmm…. cokelat sudah pasti
manis, melon, semangka sudah pasti manis juga, lantas strawberry? Asam, manis,
kecut, unik.
Ini pijakan
pertama di pasar malam. Tunggangan pertama kincir-kincir di pasar malam,
rasanya tidak beda dengan kincir-kincir
pada wahana bermain di Jakarta Utara. Jika saya jadikan kota ini sebagai
kota liburan, senang sekali rasanya. Uraian cerita ini dikonstruksikan dengan
pandangan retina sejajar layar jinjing empat belas inc. Mereka yang membaca
pikiran ini bilang untuk tidak membingkis cerita ini lebih dalam lagi takut
akan timbul pacuan rasa rindu atas kepergian sang panglima hari ini. Sebatas
menaruh mimpi tidak akan masalah, sebatas berimaji dan bermain cerita tidak
akan masalah, dan jika hanya sebatas bergulingkan rindu itu lebih baik dari
sekedar tahan haru yang lantas jadikan diri bisu.
Bacaan cerita
yang berpararel malam tadi. Halusinasi tingkat tinggi bahkan giringan batin
untuk tuturkan maaf. Lintas ego bergelit tak mau kalah, katanya saya terlalu
cerdik bermain umpatan. Jadi, hal yang tepat adalah mencari selingan cerita
untuk kacaukan otak kanannya dan saya akan lanjutkan berseni kata. Tidak banyak
yang saya punya, sebatas lingkaran janji untuk setia menunggu akan kedatangan
setelah satu pekan kepergian. Seharusnya ada pesta strawberry malam tadi, bukan
bubur ayam dengan asin kecap juga jamuan penutup nyanyian lagu lama tempo itu.
Sekarang tinggal
tunggu tontonan selanjutnya, dan pojokan mana yang akan dijadikan kongkoan
untuk mengadu cerita batin. Sejak loteng itu dijeruji besi hanya kepala yang
dapat melongok tidak ada lagi permainan ketikan tangan di layar jinjing putih
di loteng sana. Dan sejak pojok jendela ruang tamu itu dihiasi vas keramik
besar tidak lagi ada intipan tetangga sebelah untuk tumpangan bersenyum ria.
Dan sejak tembok teras ditinggikan tidak ada lagi kepingan cerita rumah tangga
tetangga sebelah, terlebih malam hari saat sang istri dan suami berbagi fantasi
di ranjang. Sekarang hanya tinggal sudut kamar bercat merah putih yang jadi
pusat segala cerita. Terutama hari ini, untuk kembali mengingat dan bermain
petikan jari lagi untuk mencatat si strawberry di pasar malam.
Senang jika
strawberry ini dinikmati dengan segelas cappuccino. Jadi ramuan penggiat bagi
si penulis untuk filem bisunya. Kebisuan yang ditimbulkan hanya sekedar olahan
manisan strawberry, maka hanya sebagian orang yang mengerti, jika anda
mengerti, maka selamat. Anda sungguh peka. Lihatan yang teramat cerdik dari
sekedar keluarbiasaan indera pada retina.